Untuk diketahui, pihak keluarga kedua korban sudah mendatangi kantor Pergerakan Pelaut Indonesia untuk meminta bantuan terkait kasus tersebut.
Tim Advokasi PPI berdasarkan bukti pengaduan dari istri Nahkoda yg datang ke kantor DPP PPI dan keluarga C/O yang datang mengadu ke kantor DPD PPI Sulsel telah melakukan beberapa upaya, diantaranya:
1. DPP PPI telah mengadukan kasus tersebut kepada Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI)
2. DPD PPI Sulsel telah mengadukan kasus tersebut kepada Badan Pelayanan, Penempatan, Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Sulsel.
3. Berdasarkan bukti pengaduan dari pihak keluarga ke Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia & Badan Hukum Indonesia, Kementerian Luar Negeri RI PPI akan mendatangi Kemlu untuk mempertegas aduan tersebut dan meminta kehadiran negara untuk melindungi segenap WNI yang bermasalah di luar negeri.
Kronologis penangkapan:
Kedua WNI tersebut merupakan pelaut yang dipekerjakan oleh Yantai Thongda International Shipping Management Co. Ltd sebuah perusahaan Agency yang berbasis di Cina.
Kasus tersebut terungkap saat Pergerakan Pelaut Indonesia mendapat pengaduan dari keluarga korban. Adalah SM (60), istri salah satu korban didampingi anak-anaknya mendatangi kantor PPI di kawasan Jakarta Utara. SM melaporkan bahwa suaminya, Suhardi sebagai nahkoda kapal Bing He 178 telah ditahan di Cina karena kapal yang dinahkodainya membawa muatan tanpa surat-surat yang jelas.
“Benar. Pada tanggal 9 Oktober Kami kedatangan keluarga korban pelaut yang saat ini ditahan di Cina. Kedua korban dengan jabatan Nahkoda dan Mualim I atas nama Suhardi dan Samsuhar,” ujar Ketua Umum PPI, Andri Yani Sanusi kepada LiputanBMI saat dikonfirmasi melalui selulernya, Selasa (31/10/17).
Andri menyebut, sesuai kronologis yang dibuat oleh pihak keluarga korban kapal ditangkap oleh kepolisian Cina pada tanggal 31 Agustus 2017 sekitar pukul 22.00 waktu setempat, karena membawa muatan ilegal tanpa dokumen lengkap atas perintah owner. Sebelumnya, kedua pelaut tersebut sudah mengajukan sign-off (pulang), akan tetapi selalu mendapatkan penolakan dari pihak owner dengan dalih belum ada pengganti.
Andri meminta kepada Pemerintah dan KBRI di Shanghai dapat segera menindaklanjuti permasalahan tersebut. “hak gaji mereka dua bulan terakhir belum dibayar, owner harus bayar itu,” tegas Andri.
Untuk diketahui, Tim Advokasi PPI telah mengadukan kasus tersebut melalui dua pengaduan. Pengaduan kasus atas nama Samsuhar dilakukan di Badan Penempatan, Pelayanan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Makassar dan atas nama Suhardi dilakukan di Badan Nasional Penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) di Jakarta yassng dientri oleh BNP2TKI dengan nomor pengaduan ADU/201710/003557 dan ADU/201710/003558.
Selain itu, sebelumnya pihak keluarga korban juga sudah mengadukan kasusnya kepada Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri sesuai tanda bukti penerimaan pengaduan tertanggal 11 Oktober 2017.
Andri mengimbau agar pemerintah terkait kasus tersebut dapat menjalankan mandat UUD 1945 alinea keempat, Konvensi Wina 1961 mengenai hubungan diplomatik antar negara, yang salah satu pasalnya mengatur perlindungan warga negara di luar negeri, Undang Undang Nomor 37 Tahun 1999 mengenai hubungan luar negeri, tepatnya dalam BAB V, yang mengatur perlindungan WNI oleh perwakilan RI di luar negeri, Undang Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang saat ini telah diganti dengan pengesahan RUU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, dan Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pelayanan warga pada perwakilan RI di luar negeri.
0 comments:
Post a Comment